Pernikahan Rusak, Jika Suami Berpoligami Tanpa Izin Istri

Adalah poligami merupakan term yang dianggap “angker” oleh sebagian atau bisa jadi seluruh kaum hawa. Alasannya sederhana, siapa yang ingin tubuh dan hatinya diduakan? Bahkan penulis yakin, suamipun tak akan mau diduakan. Walaupun demikian, harus diakui bahwasanya “dalil pembenar” terhadap “pelakon” poligami adalah al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 03 itu.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya, dan jika kalian tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Secara garis besar, Ulama sepakat bahwasanya kebolehan berpoligami diambil dari ayat itu. Namun, pertanyaan besarnya, apakah boleh secara hukum syarak suami menikah lagi tanpa izin sang istri, memandang hatinya si istri akan terduakan dan pastinya tersakiti (idza’).
Dalam hal ini, Ulama silang pendapat, Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, sejatinya konsep pernikahan memiliki aturan-aturan yang sangat ketat, memandang pernikahan mengandung resiko yang sangat besar, bahkan jika sang istri atau walinya mengajukan persyaratan kepada suami supaya tidak berpoligami atau kalau ingin berpoligami, harus izin terlebih dahulu, maka syarat tersebut harus dipenuhi. Konsekuensinya, kalau suami tidak mampu memenuhi persyaratan itu, maka pernikahannya menjadi rusak (fasakh). Pendapat ini dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari :
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْيَزَنِيِّ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Artinya, dari Yazid bin Abi Habib dari Abi al-Khair dari Uqbah bin Amir dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw, sesungguhnya syarat-syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang digunakan untuk menghalalkan farji
Begitupula ketika hal tersebut, yakni keharusan suami meminta izin terlebih dahulu sudah menjadi kebiasaan (urf) daerah setempat, maka suami wajib meminta izin, sebagaimana kaidah fikih:
الثَّابِتُ بِالعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ
Artinya, sesuatu yang ditetapkan oleh urf seperti sesuatu yang ditetapkan oleh nash (al-Qur’an dan hadis)
Selaras pula dengan hadis yang termaktub di dalam kitab Shahih Muslim,
عَنِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ الْقُرَشِىُّ التَّيْمِىُّ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ « إِنَّ بَنِى هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُونِى أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَلاَ آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آذَنُ لَهُمْ إِلاَّ اَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِى طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِى وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِى بَضْعَةٌ مِنِّى يَرِيبُنِى مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِى مَا آذَاهَا
Artinya, dari Abdullah bin Abi Mulaikah sesungguhnyas Miswar bin Makhramah bahwasanya Kanjeng Nabi Muhammad Saw berdiri di atas minbar seraya bersabda, sesungguhnya Bani Hisyam bin Mughirah meminta ijin kepadaku untuk menikahkan putri mereka kepada Ali bin Abi Thalib, maka akau tak memberi izin kemudian aku tak memberi ijin kemudian akau tak memberi ijin kecuali Ali ingin mentalak anakku, karena anakku adalah bagian dariku, oleh karenanya, barangsiapa yang membuatnya gelisah maka akupun gelisah dan barangsiapa yang menyakitinya maka akupun tersakiti.
Syekh Sayyid Sabik dalam kitabnya Fikhus al-Sunnah memberikan komentar unik mengenai hadis di atas, secara implisit pernikahan Sayyidina Ali dan Siti Fatimah Ra. merupakan pernikahan bersyarat, yaitu Sayyidina Ali tak boleh memoligami Siti Fatimah. Oleh karenanya, pada saat mengakad, Nabi seakan-akan bersabda “saya kawinkan kamu dengan putriku dengan syarat tak boleh berpoligami”. Adapun pensyaratannya tidak disebutkan pada waktu akad, karena sudah maklum bi al-Dharurah (lumrah).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, apabila diawal akad tidak ada persyaratan apapun atau tidak ada urf yang menghendaki harus meminta izin terhadap istri terlebih dahulu, maka status hukumnya kembali ke asal, yakni berpoligami tak harus menunggu izin istri, berdasarkan kaidah fikih:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ عَدَمُ الحُكْمِ
Artinya, pada dasarnya setiap sesuatu tidak ada ketentuan hukumnya
Admin Tanwirul Afkar
Samsudin says:
Terkait dengan izin ke istri, ini menurut saya belum pas. Karena kita dalam rumah tangga itu pimpinan. Sehingga bahasa yg tepat adalah pemberitahuan.. Demikian terimakasih
Khairil anwar says:
Saya mau nanya min, tentang perkawinan antar agama!
Langsung ke pertanyaanya aja ya.
apakah boleh dalam hukum islam (syar’i) seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim dan begitu juga sebaliknya, perempuan muslim menikahi laki-laki non muslim?